We Have Choice To Respond

20 January 2020

Hari ini ada janji meeting di Grand Indonesia, gerimis sepanjang jalan, cek ke waze ternyata jalan utama via Semanggi merah membara dan disarankan lewat Tanah Abang. Sudah cukup lama tidak melewati jalan itu, tibalah pada titik pilihan ke kanan, tengah atau kiri, dan tanpa berpikir panjang kupilih ke kiri… jiaaaahhhhhh… salaaaahhh!!! tidak salah sepenuhnya, tapi kurang tepat, memang sama-sama menuju ke arah GI, tapi yang tengah artinya saya akan lewat jalan kolong yang berarti lancaaaarrrr jaya dan yang ke kiri adalah melewati depan persis Pasar Tanah Abang dengan kesibukannya. Sekitar 10 detik saya KZL… keeezeeeelll, sebuah emosi yang memberi tahu pada diri bahwa realita—yaitu pilihan saya ke kiri yang lebih macet—tidak sama dengan harapan yaitu lalu lintas yang mengalir cepat.


Sejak mengenal NeuroSemantics, knowledge saya tentang bagaimana menghadapi seluruh peristiwa sehari-hari termasuk emosi tadi, dapat ditangani dengan lebih baik.

Saya izinkan emosi itu terjadi, tapi saya tidak mengizinkan emosi itu menguasa saya, karena saya adalah STATE MANAGER (state adalah kondisi yang dialami manusia yang merupakan gabungan dari mind-body-emotion), saya mampu mengelola state saya, sehingga saya geser knop dari KZL ke arah AHA. Ditambah dengan pemahaman bahwa manusia adalah MEANING MAKER, maka saya mulai memberi MEANING yang lebih baik, lebih memberdayakan, toh saya tidak dapat mengubah keadaan macet dan juga tidak ada pintu akses keluar dari jalur itu.

Saya beri makna kondisi itu sebagai “kenal lebih dekat dengan Pasar Tanah Abang” dan dengan demikian state saya berubah dari mengeluh kesal menjadi antusias, mata berbinar-binar mengamati dan pikiran tercerahkan.

Pedal gas dilepas hanya untuk 3 detik, rem diinjak untuk 20 detik, demikian pola yang sama seiring dengan mata menjelajah pada lalu lalang perempuan, laki-laki, tegap gagah maupun rambut memutih dan renta, mendorong alat angkut, memanggul karung-karung putih, truk dan mobil parkir di pinggir jalan untuk bongkar dan muat barang, sederetan pedagang kaki lima ikut menghuni jalanan—kali ini saya mencoba menepis pikiran nostalgia pada mantan (siapa yaaa..??) yang pernah membuat mereka lebih tertib. Saya mencoba mendalami raut muka mereka—sedikit sok tau—saya melihat ada perjuangan, saya merasakan kerja keras, saya mengendus cinta yang terselip di balik semua aktivitas itu. Perempuan paruh baya berkerudung yang mungkin sedang menopang keluarganya, bapak tua yang mencoba mandiri di usia senjanya walau hanya dengan bekal raga rentanya. Saya berdoa lirih untuk mereka, bersyukur juga karena kesibukan ini adalah tanda roda ekonomi yang berputar di pasar terbesar di Asia Tenggara ini. Oohhh… saya tidak menyesali saya salah pilih jalan, karena saya selalu punya pilihan.

Bersyukur mengenal Neurosemantics dan terima kasih Tuhan karena manusia kau beri kemampuan, dan kemampuan ini bagai pedang bermata dua yang bisa untuk menolong maupun membunuh, tergantung pilihan yang diambil, tergantung makna yang disertakan.

Penulis,
Giokni
WTC | Writer-Trainer-Coach
WA 0811881610
giokniwati@yahoo.com
https://giokni.blogspot.com