Tentang Authenticity – Part 4

Tentang Authenticity – Part 4

Untuk lebih memahami authenticity, kita perlu tau dulu seperti apa orang yang tidak authentic. Ini adalah part 4 dari sharing tentang Authenticity. Bagi yang tertarik detail dan kelengkapannya, materi ini saya sadur dari bukunya L. Michael Hall (Co-Founder Neuro-Semantics dan Meta-Coaching) Get Real! Unleashing Authenticity dan manual Coaching People to Get Real. Kalau tertarik dua-duanya bisa dibeli di website Neurosemantics.com.

Orang-orang yang tidak authentic adalah orang-orang yang menurut Warren Bennis penulis On Becoming A Leader, orang-orang “hollow” atau hampa. Seseorang yang hampa adalah orang-orang yang bersembungi dibalik persona/topeng karakter yang dikedepankannya. Orang-orang yang berakting atau memenuhi suatu peran dalam hidupnya. Bayangkan seorang artis yang sudah lama berperan menjadi seorang antagonis di sinetron-sinetron. Saking masuknya dalam perannya sehingga ketika diluaranpun artis itu masih akan membawa sifat antagonisnya. Dia menghidupi perannya.

Bahayanya adalah semakin dapat kita percaya peran kita, atau semakin cocok peran itu dengan apa yang kita anggap penting maka akan semakin kita menggunakan peran itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Sedangkan peran itu juga mungkin saja ditanamkan dalam diri kita oleh orang lain dan bukan yang sebenarnya adalah diri kita. Seorang laki-laki tidak boleh menangis kata guru Tae Kwon Do saya. Betapa tersiksanya saya menghidupi masa remaja dan pemuda sebagai seorang yang berperan menjadi seorang Tae Kwon Do’in yang tegar, tidak boleh menangis padahal kakek yang saya sayangi meninggal di depan mata saya.

Dengan berperan dan mengidentifikasi secara berlebihan diri sendiri dengan topeng, maka diri yang sebenarnya perlahan akan tertelan dan semakin sedikit. Ketika ini terjadi maka seseorang akan menjadi hampa. Orang itu akan mengenal dirinya sendiri melalui mata orang lain (external). Hidupnya adalah sebuah panggung sandiwara untuk memenuhi ekspektasi orang-orang disekitarnya. Seseorang ini akan menggangap dirinya adalah pekerjaannya, statusnya, hartanya, jabatannya, harapan orang tuanya dan apa yang orang lain katakan tentang dirinya.

Dengan berperan inilah seseorang belajar menjadi tidak authentic. Karena saking percayanya akan peran yang dijalaninya. Memang sebagai makhluk sosial, manusia akan berusaha untuk melindungi dirinya sendiri. Manusia purba yang tidak diterima oleh lingkungannya akan dikucilkan dan dibiarkan berada diluar ruang lingkup aman yang saling melindungi. Akhirnya manusia purba yang dikucilkan akan memiliki kemungkinan besar untuk tidak selamat (dimakan T-Rex).

Kesalahannya adalah kadang kita terlalu menganggap penting peran kita sampai-sampai kita bisa kehilangan diri kita. Bagaimana cara mengatasinya? Mulailah sadari diri sendiri, apakah selama ini yang kita jalani adalah peran kita? apakah ada suara kecil yang selalu berbicara bahwa bukan ini yang sebenarnya diinginkan? Apakah selama ini kita selalu berubah-rubah sesuai dengan ekspektasi orang-orang disekitar kita? Tanyakan pada diri apakah saya benar-benar mempercayai apa yang saya lakukan sekarang ini?

Akan ada kemungkinan diri kita akan berusaha melindungi peran itu, karena selam ini hanya peran itulah yang kita tau, yang kita gunakan, yang kita hidupi dan yang kita tunjukkan. Tetapi disinilah letak kejujuran sangat penting. Belajar untuk jujur pada diri sendiri, jujur pada pemikiran, jujur pada perasaan tentang apa yang dilakukan. Dampak apa yang selama ini didapatkan dan dirasakan. Apakah dampaknya baik bagimu? Apakah yang kamu lakukan menjadikan dirimu lebih baik? Kalau iya, selamat, kalau tidak…. tolaklah dengan segenap jiwa ragamu bahwa peran itu bukanlah dirimu.

Be Authentic because you and only you knows what you can provide to this world by being you.

Irvan Irawan Jie