SINGKAT NAMUN JADI BERKAT

Weekly Journal
Transformatio #27
30 Juli 2021

Oleh Giokni

WTC Writer | Trainer | Coach

Dua hari sebelumnya di group alumni kampus terberitakan bahwa dosen kami membutuhkan plasma konvalesen. Kusebarkan berita itu ke group-group yang relevan. Deg-degan itu mencapai puncaknya saat ada seorang teman memampangkan foto beliau dengan tulisan Rest In Peace.

Namanya Eko WIdodo, Lo, seorang doktor dan direktur Pasca Sarjana STIE YKPN-Yogyakarta. Di era tahun 1990-an kami memanggil beliau dengan Pak Lo. Pribadi yang bersahaja, membaur dengan mahasiswa. Aku mengenal beliau cukup intens dari sejak seleksi Asisten Dosen, menjadi Asdos beliau, menjadi anak bimbingan saat menulis skripsi. Beberapa tahun lalu saat memberi pembekalan wisudawan/wati almamater kusempatkan mampir di ruang kerjanya. Masih dengan kesederhanaannya.

Dua puluh Juli malam adalah ibadah dan doa bersama secara katolik sebelum pemberangkatan jenazah ke pemakaman—yang mendapat antrian hingga pukul 9 malam. Lintas zona tinggal dan lintas agama kami disatukan dalam sebuah suasana sedu sedan mendera. Sejauh mata memandang layar demi layar yang berisi 300-an orang, mata kami sembab dalam isak kedukaan. Kami merasa kehilangan orang yang sangat baik, rendah hati, pembelajar.

Mungkin jika Romo yang memimpin acara mengizinkan sebebasnya orang yang mau bersaksi, tidak akan cukup waktu walau hari sudah berganti.

Memang pada umumnya orang akan memberi pidato (eulogy) yang baik terhadap almarhum maupun almarhumah di sebuah acara pemakaman. Kali ini aku merasakan ungkapan tulus dalam kalimat yang sering tercekat, lalu seperti diamini oleh semua dari kami dalam sesak di dada.

Acara berlanjut melalui platform You Tube di lokasi pemakaman. Perlahan peti putih itu diturunkan diiringi lagu dan doa. Terpisahkan jarak 600-an kilometer, di depan laptop, air mataku deras mengalir. Aku sedih.

Kuceritakan kehilangan dosen tercintaku ini kepada Hany—sahabatku yang juga seorang Meta Coach. Dia mengirim ucapan ikut berduka sambil sebuah kalimat yang sungguh menginspirasiku untuk membuat tulisan ini.

Katanya, “Ada yang bilang, bukan how long do you live but how do you live. Kalau dengar ceritamu, semoga dia sudah berbahagia di sana.”

Saya merenungkan, sambil berempati pada teman-teman semua yang kehilangan seseorang yang dikasihi bahkan erat berinteraksi.

Atau kita sedang berada dalam kondisi terpapar Covid-19 atau sakit lainnya.

Atau kita sedang sehat wal afiat.

Kita tidak mengharapkan orang terdekat kita cepat dipanggil pulang kepada Pencipta.

Kita berjuang dan berharap untuk sembuh.

Kita senantiasa berdoa agar panjang umur.

Yaaa, kita bertawakal karena hidup ini berharga dan bermakna dan layak diperjuangkan.

Teks dari Hany terus mendengung bagai lebah sedang terbang di samping kepala. “How do you live.”

Your life matters, the quality of your life, the way you thingk, you feel, you speak, you act in everyday life matter.

Ilmu apa yang akan dipelajari untuk mengisi pikiran kita?

Apakah kita memilih perasaan yang membuat kita berdaya atau malah menggerus keberdayaannya?

Perkataan yang seperti apa yang keluar dari mulut kita? Perilaku yang bagaimana yang ditampilkan dalam keseharian kita?  Dalam ilmu neurosemantics, kami membangun kesadaran dan kewarasan akan hal-hal tersebut.

Keistimewaan manusia sebagai makhluk pemberi makna pada segala sesuatu yang terjadi dapat menjadi pedang bermata dua. Makna yang membangun atau makna yang menghancurkan. 

Usia adalah kesempatan.

Rentang lama atau singkatnya tidak ada dalam kendali kita.

Berjuang untuk hidup itu wajib, keputusan final dan hak prerogatif ada pada Sang Pemberi kesempatan

Apa yang ada dalam kendaliku, itulah yang mampu kuusahakan.

Bukankah setiap kita bertanggung jawab pada hidup kita masing-masing?

Jika memang SINGKAT waktunya, apakah sudah menjadi BERKAT?

Semoga dengungan kalimat Hany di atas, sekarang juga mendengung di dekatmu.

Sadar dan waras dengan HOW DO YOU LIVE.

My Simple Thought, 26 Juli  2021

giokni@elevasi.id

linktr.ee/elevasi.id