Weekly Journal
Transformatio #28
20 Agustus 2021
Dalam tulisan ini saya akan membagikan hal ketiga yang menghalangi saya menjadi seorang coach yang efektif ketika pertama kali memulai karir sebagai seorang profesional coach. Perasaan yang dinamakan perasaan rendah diri dan tinggi hati. Inferior dan Superior.
Inferiority terjadi ketika saya mencoach seorang klien yang levelnya jauh diatas saya, entah orang yang lebih tua, lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal atau bahkan lebih ganteng. Saya tidaklah menjadi seorang coach yang efektif dalam hal ini karena dengan perasaaan rendah diri ini saya tidak mampu untuk mendengarkan dengan baik. Yang terjadi dipikiran saya adalah saya tidak layak atau tidak mampu mencoach orang ini. Padahal sebenarnya seorang coach tidaklah perlu memiliki keahilan sama seperti yang dimiliki klien. Klien lah ahlinya, coach hanya menfasilitasi.
Superiority adalah kebalikannya, perasaan yang muncul adalah bahwa saya lebih sukses, kaya, ganteng, hebat dan berada di level yang lebih tinggi daripada klien saya. Superiority tidak akan membuat saya seorang coach yang efektif, karena saya menganggap remeh klien saya. Pemikiran yang terjadi dalam diri saya adalah : “Masak untuk hal yang begini saja gak bisa sih, sini lebih baik saya ajarin.” Akhirnya yang terjadi adalah saya cenderung ingin memberikan nasihat atau pengajaran kepada klien saya.
Coach yang efektif adalah coach yang mampu menjadi sepadan dan selevel dengan kliennya. Dibutuhkan self-efficacy (kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri untuk bisa melakukan walau sekarang belum bisa melakukan) yang tinggi untuk bisa menaikan atau menurunkan level diri sendiri. Dengan menjadi coach yang sepadan maka ketika klien lebih tinggi levelnya dari saya, saya masih mampu menchallenge pemikirannya sehingga klien mendapatkan seseorang yang mampu mengimbangi pemikiran, mengerti dan membawanya mencapai tujuannya.
Ketika klien levelnya lebih rendah dari saya, dengan self-efficacy saya mampu menyamai dan turun ke levelnya. Sehingga klien akan mendapatkan trust dan intimacy terhadap saya. Saya tidak akan dilihat sebagai seorang coach yang sombong / arogan dan mengintimidasi klien. Hal ini akan membantu klien merasa nyaman. Ketika klien merasa nyaman dengan coachnya maka dia dapat dengan lebih kreatif mendapatkan sumber daya dari dirinya sendiri.
Bagaimana caranya saya memiliki self-efficacy? caranya adalah dengan memiliki self-esteem (nilai diri) yang benar. Didasari dengan pemahaman diri yang benar. Bahwa klien saya apapun statusnya tetap saja manusia siapapun dia, apapun pekerjaannya, berapapun banyak uangnya dan apapun status sosialnya. Saya sudah memiliki sumber daya yang saya butuhkan (pengetahuan) untuk bisa menfasilitasi klien saya dengan efektif. Saya menerima segala kekurangan dan kelebihan saya sebagai seorang manusia yang diciptakan baik apa adanya. Kalaupun saya melakukan kesalahan maka saya juga memiliki kerendah hatian untuk meminta maaf kepada klien. Namanya juga saya seorang manusia.
Dengan pemikiran diatas, saya melepaskan beban saya ketika mencoach dan mengikut level klien dengan lancar. Yang ada dipikiran saya adalah bagaimana caranya saya bisa mengerti klien sepenuhnya karena klien saya adalah manusia juga seperti saya. Skills yang dibutuhkan adalah listening dan supporting yang baik.
Semoga hal ini bisa berguna bagi kita semua sehingga siapapun yang dipercayakan untuk di coach oleh kita dapat kita fasilitasi sepenuh hati. Fasilitasi sepenuh hati juga akan memampukan kita bertanggung jawab atas kemampuan yang sudah diberikan kepada kita oleh Tuhan untuk memberdayakan orang lain.
Irvan Irawan Jie
Neuro-Semantics Trainer
Associate Certified Meta-Coach