Penghalang Seorang Coach Yang Efektif – Part 2

Weekly Journal
Transformatio #19
14 Mei 2021

Kurang Empati

Pengalaman saya sebagai seorang coach pemula, karena terlalu merasa tidak perlu mementingkan konten dan hanya peduli pada konteks membuat saya kurang merasa empati terhadap apa yang klien hadapi. Mungkin juga ini didasari oleh karakter saya yang katanya cuek.

Apa pun penyebabnya, kurangnya empati menyebabkan seorang coach tidak dapat mengcoach dengan efektif. Kurangnya empati menempatkan klien sebagai pemuas ego coachnya. Kurangnya empati membuat seorang coach tidak dapat masuk dalam dunia klien dan mengerti mereka sepenuhnya. Ketika coach tidak mengerti sepenuhnya klien maka coach hanya akan mampu mendengarkan apa yang ingin di dengar. Kurangnya mendengarkan tidak akan memampukan coach untuk bertanya yang lebih dalam dan berdampak. Kurangnya pertanyaan mendalam tidak akan mampu memberikan klien sebuah kesadaran yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.

Untuk mengatasinya, seorang coach perlu menyadari bahwa ketika mengcoach, ini bukanlah tentang coachnya. Tapi tentang orang yang dipercayakan kepada dirinya untuk difasilitasi. Menyadari bahwa coaching bukanlah tentang apa yang coach ketahui, tetapi apa yang klien tahu dan mengetahui apa yang klien saya tahu akan memberi tahu dan mengarahkan coach apa yang perlu dilakukan berama dengan kliennya..

Empati adalah sebuah konsep berpikir yang bisa dibangun. Setiap dari kita pasti sudah pernah merasakannya. Kecuali apabila anda adalah seorang psikopat yang memang secara alami otak anda tidak dapat merasakan emosi sama sekali. Kapan terakhir kali anda merasakan empati kepada seseorang? semakin sadar akan rasanya empati, maka akan semakin mudah untuk kita memanggil kembali perasaan tersebut ketika sedang melakukan sesi coaching.

Empati akan membangun rapport, sebuah keadaan dimana klien dan coachnya seolah-olah seirama. Klien mempercayai sepenuhnya bahwa coachnya mengerti betul apa yang ada di dalam pemikirannya. Empati juga akan membangun kepercayaan klien kepada coachnya. Manusia juga mampu menangkap ketulusan seseorang. Seorang coach yang mampu dipercayai ketulusannya untuk membantu diri klien akan menjadi seorang coach yang lebih efektif. Hal ini dapat dimulai dengan keinginan dari dalam diri dan kesadaran akan pentingnya untuk memiliki empati bagi klien saya.

Ada kerancuan dalam bahasa Indonesia tentang empati, empati bukanlah simpati. Kalau dalam bahasa Inggris, simpati adalah dimana kita masuk dalam dunia klien dan ikut merasakan apa yang klien rasakan. Jadi ketika bersimpati, ketika klien menangis kita ikut menangis bersamanya. Tapi empati adalah kemampuan seseorang untuk dapat bisa merasakan perasaan klien tanpa masuk atau terbawa perasaan klien. Dengan begitu empati akan memampukan saya untuk memahami dan mengerti secara objektif apa yang klien rasakan.

Ketika seorang coach mulai menggunakan empati, maka dia akan mampu mendengarkan secara empatik. Dalam Meta-Coaching, bukan hanya seorang Meta-Coach perlu mendengar secara empatik, tetapi juga dengan menjadikannya lebih “suci”. Mendengarkan dengan penuh empati akan memampukan seorang Meta-Coach untuk melakukan “Sacred Listening”. Sacred Listening adalah sebuah state pikiran, perasaan dan fisiologi dimana saya mendengarkan hanya untuk mendengarkan dan mengerti klien saya karena klien saya begitu berharga dan penting bagi saya untuk didengarkan.

Kemampuan berempati adalah sebuah kemampuan yang tinggi dalam mendengarkan. Kemampuan yang perlu dilatih terus menerus. Mendengarkan dengan empati akan menjadikan kita seorang coach yang dengan tulus hati menfasilitasi klien untuk mengaktualisasikan dan mencapai tujuan-tujuan pentingnya.

To your highest and best,
Irvan Irawan Jie
Neuro-Semantics Trainer
President Meta-Coach Foundation Indonesia