Penghalang Seorang Coach Yang Efektif – Part 2 – Kurang Empati
Selamat pagi teman-teman Meta-Coaches. Hari ini saya akan mensharekan penghalang coach yang efektif seri kedua. Pengalaman saya sebagai seorang coach pemula, karena terlalu merasa tidak perlu mementingkan konten dan hanya perduli pada konteks membuat saya kurang merasa empati terhadap apa yang klien hadapi. Mungkin juga ini didasari oleh karakter saya yang katanya Plegmatic alias cuek.
Apapun penyebabnya, kurangnya empati menyebabkan saya tidak dapat mengcoach dengan efektif. Kurangnya empati menempatkan klien saya sebagai pemuas ego saya. Kurangnya empati membuat saya tidak dapat masuk dalam dunia klien saya dan mengerti mereka sepenuhnya. Ketika saya tidak mengerti sepenuhnya klien saya maka saya hanya akan mampu mendengarkan apa yang saya mau. Kurangnya mendengarkan tidak akan memampukan saya untuk bertanya yang powerful. Kurangnya pertanyaan powerful tidak akan mampu memberikan client awareness yang diperlukan untuk mencapai goalnya.
Yang menyembuhkan saya dari kurangnya empati adalah ketika saya menyadari bahwa ketika saya mengcoach, ini bukanlah tentang saya. Tapi tentang orang yang dipercayakan kepada saya untuk saya fasilitasi. Menyadari bahwa coaching bukanlah tentang apa yang saya tau, tapi apa yang klien saya tau dan mengetahui apa yang klien saya tau akan memberi tau saya apa yang perlu saya lakukan.
Empati adalah sebuah state of mind yang bisa dibangun. Kita semua pernah merasakannya. Well, kecuali anda adalah seorang psikopat yang memang secara alami otak anda tidak dapat merasakan emosi sama sekali. Kapan terakhir kali anda merasakan empati kepada seseorang? semakin kita sadar akan rasanya empati, maka akan semakin mudah untuk kita memanggil kembali perasaan tersebut ketika mengcoach.
Empati akan membangun rapport, kita secara manusia mampu menangkap ketulusan seseorang. Empati juga akan membangun trust kepada klien. Semua ini dimulai dengan keinginan diri dan kesadaran yang sama miliki betapa pentingnya bagi saya untuk memiliki empati bagi klien saya.
Ada kerancuan dalam bahasa Indonesia tentang empati, empati bukanlah simpati. Kalau dalam bahasa Inggris, simpati adalah dimana kita masuk dalam dunia klien dan ikut merasakan apa yang klien rasakan. Jadi ketika bersimpati, ketika klien menangis kita ikut menangis bersamanya. Tapi empati adalah kemampuan seseorang untuk dapat bisa merasakan perasaan klien tanpa masuk atau terbawa perasaan klien. Dengan begitu empati akan memampukan saya untuk memahami dan mengerti secara objektif apa yang klien rasakan.
Ketika saya mulai menggunakan empati, maka saya mampu melakukan emphatetic listening. Empathetic Listening akan memampukan saya untuk melakukan Sacred Listening. Sacred Listening adalah sebuah state pikiran, perasaan dan fisiologi dimana saya mendengarkan hanya untuk mendengarkan dan mengerti klien saya karena klien saya begitu berharga dan penting bagi saya untuk didengarkan.
Skill berempati adalah skill advanced dalam listening yang akan menjadikan kita seorang coach yang mengaktualisasikan klien kita dengan tulus. Latihlah terus sebagai sebuah skill yang esensial dalam mengcoach.
Irvan Irawan Jie