Neuro-Semantics & Critical Thinking

Meta-Coach Tina Melinda,M.Psi,Psikolog, CHRP

https://tinamelindanasution.wordpress.com/2020/06/28/neuro-semantics-critical-thinking/

Neuro-Semantics is a communication model, it is a model of how people think and about how people think about their thinking (meta-thinking), so they can correct their thinking, and they are become good thinkers, critical thinkers, clear tinkers, precise & authentic. 

“L.Michael Hall. Ph.D”

Mempelajari Neuro-Semantics (NS) adalah ibarat mempelajari manual bookbagaimana manusia berfungsi, berfikir dan berperilaku. Semakin kita belajar semakin kita terpesona akan indahnya manusia dengan dinamikanya. Setiap kali ada kesempatan untuk membedah ilmu dan konsep NS, saya pribadi akan berusaha untuk selalu hadir, termasuk kesempatan istimewa yang sangat jarang terjadi seperti hari jumat, tanggal  12 Juni 2020 lalu. Saya bersama dengan meta-coach dan NS Trainer diberikan kesempatan untuk silaturahmi dan berdiskusi secara langsung dengan  founder Neuro-Semantics yaitu Michael hall Ph.D melalui zoom.  Hal ini bisa terjadi tidak lain dan tidak bukan adalah berkat guru saya yang selalu mengagumkan yaitu Ibu Mariani Ng dan pak Basian.

Pada pertemuan kali ini, banyak sekali insight yang didapatkan dan banyak sekali AHA moment yang menarik untuk dibawa pulang. Berikut ini beberapa diantaranya:

The Hidden Core in Communication is Thinking

Neuro-semantics adalah communication model, yaitu model dari bagaimana manusia berfikir dan bagaimana manusia berfikir atas apa yang difikirkannya (meta-thinking). Saat seseorang mengambil waktu tertentu untuk memikirkan apa yang tengah dipikirkannya, maka orang tersebut akan memiliki kesempatan untuk mengoreksi pemikirannya dan pada akhirnya akan menjadikannya sebagai seorang pemikir yang efektif, akurat, dan otentik.

Pernah gak anda mengalami siatuasi dimana Anda  step back sejenak dan kemudian memikirkan pemikiran anda (thinking over thingking) dan akhirnya membuat Anda menjadi lebih jelas melihat yang terjadi dan mampu memberikan respon secara lebih tepat? Anda pun menjadi tidak baperan? Jika pernah, SELAMAT…YEY…….anda sudah melakukan meta-thinking. Sama seperti si Ibu bolu marmer berikut ini:

SUATU HARI, IBU BOLU MARMER MEMASAK BOLU JADUL ANDALANNYA  UNTUK SUAMI TERCINTA DENGAN HARAPAN DIA AKAN SEGERA MELAHAPNYA. NAMUN TERNYATA, SAAT BOLU TERSEBUT MATANG, SUAMINYA TIDAK LANGSUNG MEMAKANNYA SEPERTI HARAPANNYA. SAAT MELIHAT PERISTIWA ITU, MUNCUL PEMIKIRAN DI BENAKNYA BAHWA SUAMINYA TIDAK SUKA DENGAN MASAKANNYA DAN TIDAK MENGHARGAI JERIH PAYAHNYA. JIKA SI IBU BERHENTI HANYA DISINI SAJA TANPA MENGKRITISI PEMIKIRANNYA, MAKA DIA AKAN MENGANGGAP BAHWA SUAMINYA TIDAK SUKA DENGAN MASAKANNYA DAN DIA TIDAK MENGHARGAI JERIH PAYAHNYA. MAKA IA PUN AKAN MEMBUAT DRAMA DI PIKIRANNYA, YANG AKHIRNYA MEMBUAT IA TIDAK RESEOURCEFUL. IA MENGANGGAP SUAMINYA TIDAK MENGHARGAINYA. DAN JIKA KEMUDIAN IA MEMBERIKAN MAKNA PADA HAL TERSEBUT MAKA BOLEH JADI IA PUN MENGANGGAP SUAMINYA TIDAK CINTA PADANYA LAGI. DRAMA TERSEBUT BISA MENJADI LEBIH DRAMATIS LAGI DAN BAHKAN HINGGA NGALAH-NGALAHIN DRAMA KOREA YANG LAGI HITS SAAT INI. AHIRNYA, SI IBU PUN KECEWA DAN NGAMBEK SERTA MENANGIS DI POJOKAN KAMARNYA (AGAK LEBAI EMANG INI SI IBU……HEHEHEH).

NAMUN, JIKA SI IBU STEP BACK DAN MEMIKIRKAN KEMBALI ATAS PEMIKIRANNYA SERTA MENGAJUKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN SEDERHANA ATAS PEMIKIRANNYA, MAKA BOLEH JADI, KESIMPULAN AKHIRNYA AKAN BERBEDA.

SAAT MUNCUL PEMIKIRAN BAHWA SUAMINYA TIDAK SUKA MASAKANNYA KARENA TIDAK LANGSUNG MEMAKANNYA, MAKA SI IBU BISA MENGAJUKAN PERTANYAAN-PERTANYAAN MENDASAR SEPERTI: APAKAH BENAR DIA TIDAK SUKA MASAKAN SAYA ATAU ADA ALASAN LAIN? BIASANYA SIH SUKA, MUNGKIN ADA ALASAN LAIN….HEHEH….APA KEMUNGKINAN LAIN YANG MEMBUAT IA TIDAK LANGSUNG MEMAKAN MASAKAN SAYA? HMMM… BISA JADI DIA MASIH KENYANG, SOALNYA TADI HABIS MAKAN MIE AYAM. PERNAH GAK DIA TIDAK MEMAKAN MASAKAN SAYA? GAK PERNAH SIH… APA YANG MEMBUAT MASAKAN SAYA TIDAK DIMAKAN SAAT INI? KAYAKNYA MASIH KENYANG. LANTAS, APAKAH SAYA INGIN MEMAKSA DIA UNTUK MEMAKANNYA? TIDAK, JIKA DIA TIDAK MEMAKANNYA SAAT INI, APAKAH MUNGKIN DIA MEMAKANNYA SEBENTAR LAGI? BISA JADI. APA ARTINYA MEMASAK BOLU BAGI SAYA? MENGATAKAN CINTA TANPA KATA-KATA. DAN APAKAH DIA CINTA PADA SAYA? IYA…DIA CINTA. JADI KESIMPULANNYA?  SUAMI SAYA BELUM MEMAKAN BOLU MARMER SAYA KARENA MASIH KENYANG, DAN DIA CINTA PADA SAYA.

Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa saat kita melakukan meta-thinking, kita sebenarnya diajak untuk berpikir secara kritis atas apa yang kita pikirkan sehingga kita bisa melihat lebih jelas dan menguraikan lebih jelas  tentang apa yang terjadi, clarity is there. Sederhananya, dapat dikatakan bahwa saat kita melakukan meta-thinking maka sebenarnya kita sudah melakukan critical thinking.

Critical thinking essentially is meta-thinking, using your highest your executive brain. 

Menarik bukan?

Nah..sekarang kita sudah paham nih konsep critical thinking, tapi pertanyaannya sekarang adalah apakah kita benar-benar seorang critical thiker? pemikir yang kritis? Apakah dengan mengetahui konsepnya maka otomatis akan menjadikan kita seorang critical thinker? Tunggu dulu….

Salah satu temuan yang sangat menarik tentang manusia selain bahwa  tidak hanya banyak orang yang tidak mampu berfikir dengan baik, namun lebih dari itu, ternyata banyak orang yang pada dasarnya tidak berfikir ya…mereka tidak benar-benar berfikir. Kalau bahasa inggrisnya begini nih…. 

Most people are not thinking, they are not actually thinking. 

Dan sebagai seorang meta-coach yang mempelajari Neuro-Semantics, disinilah peran kita, bagaimana kita mampu memfasilitasi proses orang lain untuk dapat melakukan critical thinking, bagaimana kita mengajak mereka untuk bisa melihat dan mendengarkan terlebih dahulu pemikiran mereka sendiri sebelum berespon. Namun sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu mengenali terlebih dahulu, yang mana saja yang termasuk Not Thinking/tidak berfikir.

L.Michael Hall, Ph.D dalam sharing malam ini, menjelaskan bahwa ada 6 kategori yang tidak termasuk kedalam thinking, yaitu:

  1. Reactive; adalah dimana kita bereaksi secara langsung tanpa berfikir terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan oleh orang lain.  Jika kita mengambil waktu sedikit untuk berfikir, maka kita tidak akan bereaksi secara langsung terhadap perkataan orang tersebut.
  2. Automatic Thinking; kita berespon secara otomatis tanpa melihat dan mendengar apa yang terjadi, bahkan kita tidak mengetahui atau menyadarinya. They are not conscious about their conscious thinking. Respon kita dikendalikan oleh program lama yang kita miliki. Saat kita berbicara tentang automatic thinking, kita sedang berbicara tentang “Blind Spot” yang bahkan sebenarnya kita tidak sadari / aware akan hal tersebut. Pertanyaannya adalah, berapa banyak hidup kita yang kita jalani secara otomatis? Saat kita berkendaraan, kita mengendarainya secara otomatis. Banyak sekali peristiwa2 di dalam hidup yang kita bahkan tidak melihat dan mendengarnya dengan baik.
  3. Borrowed thinking;adalah pemikiran yang bukan milik kita, kita hanya melakukan coding atas pemikiran orang lain. Jadi inilah borrowed, sesuai dengan arti katanya yaitu meminjam, kita meminjam pemikiran orang lain. Memang tidak bisa dipungkiri, di satu sisi, saat kita meminjam pemikiran orang lain, itu dapat membuat kita belajar akan sesuatu. Hanya saja, jika tidak kita cerna, tidak integrasikan, dan tidak refleksikan di dalam diri dan pemikiran kita, maka pemikiran itu  bukanlah milik kita, bukan pemikiran kita,  kita hanya melakukan coding terhadap bullet point dari pemikiran orang lain.  Their Thinking is not their own.  
  4. Superficial thinking; Orang yang hidup hanya melihat permukaan saja dan tidak mencoba mendalami sesuatu, mereka cenderung memiliki Shallow Thinking/Wishful Thinking dan naïve.
  5. Agenda Thinking; Ini adalah saat dimana kita sudah memiliki agenda / intensi tertentu. Kita berbicara, mendengarkan, merasakan hanya untuk memenuhi agenda yang sudah kita tentukan dan miliki, bahkan terkadang, apa yang kita dengar itu pada dasarnya tidak ada dan tidak diucapkan orang lain. We’re listen for and hearing and want to hear, and wanting to hear it even it not there. Orang dengan Agenda thinking ini cenderung mind reading, melakukan asumsi-asumsi, loncat kepada kesimpulan. Tidak sedikit orang yang hanya mau mendengar sesuatu yang ingin mereka dengar, mereka memiliki “Hidden Agenda”.
  6. Certainty / I am sure. Saat seseorang sudah berada pada tahapan certainty ini, maka dia sebenarnya sudah menutup diri untuk belajar, karena dia merasa sangat yakin, tidak ada peluang untuk salah dan kemungkinan-kemungkinan lain. When you are certain, you close the door for learningThere’s no openness, no option to be it wrong, could it be some other fact/evidence. Ini sangat berbahaya karena dengan menutup pintu untuk berfikir akan membuat kita berhenti mendengar dan belajar.

Jika keenam proses diatas tidak termasuk thinking maka, apa saja kemudian yang dapat kita kategorikan sebagai thinking?

Berikut adalah proses berfikir yang dapat dikategorikan sebagai Real thinking:

  1. Considering – Ini adalah first stage dari thinking. Jadi, seseorang mulai berfikir saat mereka mencoba untuk menganalisa sebuah pemikiran dan mempertimbangkannya. Sebagai seorang coach atau trainer, kita tentu sering merasakan betapa tidak mudahnya untuk membuat seseorang mau mempertimbangkan sesuatu. Tidak sedikit dari kita yang mengatakan kepada seseorang “Saya tidak meminta anda untuk mempercayai ini, meyakini ini, tapi coba berikan waktu untuk diri anda untuk mempertimbangkannya” dan pada akhirnya mereka pun tidak bersedia melakukannya. Dan saat mereka bersedia untuk mulai melakukan considering, maka mereka sudah mulai berfikir. Considering ini kemudian akan nge-lead diri kita untuk mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan, atau melakukan questioning.
  2. Questioning – Ketika kita mengajukan pertanyaan, pada dasarnya kita sudah berfikir, contoh: kita mengajukan beberapa pertanyaan seperti: apa ini? apa yang membuat ini menjadi seperti ini? apa signifikansinya? Apa yang membuat ini berguna? Apa yang perlu untuk saya lakukan? maka saat pertanyaan-pertanyaan ini diajukan, kita sesungguhnya sudah memikirkannya. Saat kita melakukan coaching dan mengajukan pertanyaan kepada coachee, kita pun mengajak dia untuk berfikir.
  3. Doubting – part of the very core of thinking. Pada saat doubting kita bisa jadi merasakan bahwa kita tidak tau, apakah akan menerima atau menolak nya, apakah ini atau itu. Skeptis akan membuat kita mulai untuk berfikir. Jadi, kalau di pelatihan ada yang bertanya dan meragukan yang disampaikan trainer, maka ini adalah moment yang menyenangkan bagi trainer karena peserta training sudah mulai berfikir.
  4. Saat kita sudah doubting maka kita akan mulai melakukan inferring. Ini adalah tentang asumsi yang kita fikirkan. Kita mulai menebak / guessing, melakukan hipotesa/ hypothesizing,
  5. Creating;menciptakan, termasuk melakukan imajinasi untuk menghasilkan sesuatu, berandai-andai.
  6. Organising; menyusun kembali beberapa hal, menatanya kembali sehingga menghasilkan pemahaman dan strategy.
  7. Meta thinking, yaitu saat kita mundur sebentar dan mempertimbangkan kembali pemikiran atas pemikiran kita sehingga kita bisa self-correcting.
  8. Discern. Ini adalah tentang kearifan, wisdom, respective, being cognition.

Jadi..kalau kamu selama ini sering mempertanyakan sesuatu, mempertimbangkan sesuatu atau bahkan meragukan sesuatu ( considering, questionning & doubting), selamat…yey…kamu termasuk orang yang sering melakukan proses berfikir. Jadi, kalau suatu saat kamu menjadi trainer, dan peserta pelatihanmu bertanya atau meragukan informasi yang kamu sampaikan, maka mereka berarti sedang berfikir. Mereka berarti mempertimbangkan info yang disampaikan.

Slow vs Fast Thinking

Daniel Kahneman di dalam bukunya  fast & slow thinking membagi thinking ke dalam dua kategori yaitu slow thinking dan fast thinking. Jika dikaitkan dengan konsep executive thinking dalam neuro-semantics, maka dapat dilihat bahwa yang termasuk fast thinking adalah 6 kategori tidak berfikir/not thinking sebagaimana dijelaskan di atas, seperti: reactive thinking, agenda thinking, superficial thinking, automatic thinking. Sedangkan slow thinking adalah saat kita melakukan proses befikir yang sebenarnya, sesuatu yang lebih logis dan masuk akal. Slow thinking adalah berfikir tentang pemikiran kita dan berfikir tentang respon kita. Slow thinking adalah meta-thinkingdan critical thinking.

Thinking VS Feeling. 

Tidak sedikit dari kita yang mengajukan pertanyaan, yang mana yang lebih dulu antara thinking dan feeling, apakah merasa dulu atau berfikir dulu, you feel first or you think first?

Untuk menjelaskan tentang fungsi ini, kita tidak bisa mengatakan yang mana dulu. Kedua fungsi tersebut ada dan berfungsi di dalam diri kita. Saat seorang bayi dilahirkan, dia tidak berfikir (no thinking), hanya emoting/merasa, artinya bayi dilahirkan dengan memiliki fungsi kinesthetic. Dia mencium, meraba dan bergerak, walaupun pergerakannya masih sangat terbatas. Indra kinesthetic, catastrophe, factoryadalah indra yang pertama berkembang pada seoarang bayi. Setelah beberapa minggu, bayi mulai memiliki visual representation, namun visual representation itu baru akan menetap dan konstan saat bayi sudah mencapai usia 9 bulan. Saat seorang bayi sudah memiliki gambaran (visual representation yang konstan, maka dia sudah mulai berfikir, sebagaimana kita menjelaskan berfikir.  Dia sudah mulai bisa menghadirkan gambar, menggerakkan gambar dan  menyusun konstrak baru di dalam kognitifnya. Inilah gambaran proses seorang manusia mulai berfikir.

Jadi, saat kita bayi, dimulai dari merasa (feeling) dan kemudian berkembang ke berfikir (thinking). Saat pubertas, formal logical thinking sudah mulai bersatu (merge) dengan feeling dan berikutnya berkembang menjadi abstract thinking. Semakin dewasa, maka kemampuan thinking kita sudah bisa mencapai tingkatan tertinggi dari berfikir, yaitu executive thinking.  

Dengan executive thinking membuat kita bisa menjadi CEO dari kehidupan kita. Inilah yang membuat kita berbeda dari binatang. Jadi, bagaimanapun, akan lebih baik jika kita dipimpin oleh pemikiran kita daripada feeling, karena feeling adalah simpton atau fungsi dari pemikiran kita. Namun bukan berarti feeling itu tidak baik, bukan berarti feeling itu tidak ada fungsinya. Jika kita terlalu mempercayai feeling, maka resikonya cukup besar untuk salah, karena feeling dipengaruhi oleh banyak sekali factor seperti apa yang sedang kita makan, apa yang kita minum, bagaimana tidur kita, kesehatan kita, position of the moon, hubungan dengan orang lain.

Thinking is grounded in feeling.

Saat kita berfikir, dan berfikir, dan melakukannya berkali-kali, maka itu akan masuk ke dalam muscle memory, yaitu program kita. Misalnya, saat mengendari mobil, kita tidak berfikir lagi tentang bagaimana cara mengendarainya, tapi lebih kepada merasakan bahwa badan kita dapat melakukannya dan kita tau cara membawa kendaraan. Sama halnya seperti kita mengetik, kita melakukannya tanpa berfikir dan hanya menjalankannya karena tubuh kita sudah mengenali keyboardnya dan terbiasa. Dia sudah menyatu ke dalam tubuh kita, muscle memory. Jadi, tubuh kita di program untuk melakukan sesuatu, mis: bagaimana cara mengetik, menyetir, masak. Jadi kita memiliki body state. Body state memiliki Feeling

Jadi Feeling itu memiliki fungsi yang sangat penting, tp dia sifatnya symptomatic, dia hanyalah berupa simpton dari pemikiran. Saat seseorang terlihat ceria atau cheerful, maka kita menganggap bahwa pemikirannya lagi baik, lagi cheerful.Sebagai seorang meta-coach, kita perlu melakukan pemeriksaan kembali. Sebagai contoh: saat kita menemukan client yang sedang takut,  perlu digali tentang ketakutannya, dan apa yang mendasari ketakutannya? Apakah ketakutan ini adalah pemikiran dia tentang perasaan takutnya yang kemudian di amplify sehingga menjadi sangat besar atau apakah ketakutan ini adalah terhadap perhitungan resiko yang sangat besar?