MENDENGARKAN

Weekly Journal
Transformatio #3
1

Banyak orang mendengarkan bukan untuk memahami ‘dunia dalam’ kawan bicara, tapi mendengar untuk membenarkan ‘dunia dalam’ dirinya sendiri, bahkan mendengarkan hanya untuk menjawab. 

Jolie : “Gue lagi bete nih”.

Brad : “Sabar say…”

Jolie : makin bete “Sabar ndasmu”.

Brad : “Kenapa sih?”

Jolie: “Kan gue minta beliin apel”. 

Brad : “Ya itu udah ada di kulkas”. 

Jolie : “Itu kan apel Fuji yang merah”

Brad : “Truuus?”

Jolie : “Gue maunya yang ijo. Apel Malang”. 

Brad : “Ya lu nggak bilang”. 

Jolie : “Bertahun-tahun lu bareng gue, masih nggak ngerti juga?”. 

Maka ketika seseorang mengatakan ‘Pasang Telinga’, di situ ada unsur : paham makna mendengarkan dan makna kawan bicara; intensi (niat) ; kesiapan state (fokus, genius); skill mendengarkan.  

Banyak orang bercakap-cakap tapi tidak berkomunikasi, akibat tidak mendengarkan. Mereka mengira mendengarkan padahal hanya mendengarkan persepsi dirinya sendiri. Orang bicara antara 100-150 kata permenit, sementara pikiran berkecepatan ratusan bahkan ribuan kali lebih cepat dari lidah. 

Ani : “Aku haus …..”

(belum selesai bicara)

Rhoma : “Minumlah, Ani.”

Ani : “Aku haus kasih sayang, Rhoma”. 

Realitas eksternal di dunia luar diubah oleh seseorang menjadi realitas internal di dunia dalam melalui panca indera. Seseorang berespon selalu berdasarkan dunia dalam, tidak pernah berdasarkan dunia luar. Apa yang ada di dalam pikirannya berfungsi simbol atas realitas eksternal. Ketika seseorang bicara gunung, di dalam pikirannya ia melihat gambar gunung, tapi kalau dibelah kepalanya tidak ada gunung asli. Itu artinya apapun yang ada dalam pikiran seseorang — gambar, suara, rasa, bau, kecap — hanyalah model of the world, bukan the world. Meyakini apa yang ada di dalam pikiran sendiri (model of the world) sebagai kebenaran mutlak (the world) adalah ketertipuan fatal sekaligus sumber masalah. 

JIka model of the world hanyalah simbol dari ‘the world’, maka kata-kata yang meluncur dari mulut, tubuh, dan jemari kita adalah simbol (linguistic symbol) dari model of the world dirinya. Model of model of the world!. Bayangkan! Betapa kita butuh memahami bahasa seseorang, untuk memahami dunia dalamnya, atas kejadian (dunia luar) yang dialaminya!. 

Maka mendengarkan erat kaitannya dengan bertanya. Setelah mendengarkan, kita perlu melengkapi model of the world seseorang dalam pikiran kita dengan : bertanya. Ketika sahabat Smule saya Myrna menulis : “Saya cuma ingat pernah ikut seminar MLM terus pas bagian yel yel aku ketakutan terus nangis, abis tuh malas ikut acara model begituan.”, saya dapat mengulangi kata-katanya, tapi  belum mendapat gambaran utuh tentang ‘model of the world’ Myrna soal apa yang dikatakannya itu.  Maka sayapun bertanya:

– Yel-yel yang bagaimana persisnya?

– Bagaimana persisnya yel-yel itu membuat takut

– Takut apa?

– Jenis takut yang seperti apa?

Ternyata Myrna takut sosok raksasa jelmaan suasana ruangan. Dan ketika ditanyakan lebih dalam, ternyata Myrna takut atas ide harus sukses seperti pembicara di panggung. Jika didalami lagi, ketakutan itu dapat berasal dari referensi keyakinan, nilai-nilai, metafora, imajinasi, memori,  self-esteem, konsep, dan seterusnya, yang setelah didengarkan utuh akan didapatkan pemahaman yang lebih utuh. 

Belum tentu juga Myrna mau mengubahnya. Kalaupun Myrna mau, dan minta saran kepada saya, belum tentu juga saya dapat memberi jawaban yang tepat. Saya tidak perlu menjawab apapun. Namun setidaknya saya paham model of the world-nya.  Itu belum pertanyaan saya seperti : Apakah semua yel dan semua suasana, atau hanya yel seperti itu, di tempat itu, sejumlah orang di situ, datang sendiri atau ramai-ramai, berapa kali mengalami? – dan seterusnya. 

Pemaknaan yang Myrna berikan atas pengalaman subjektifnya  juga diatur oleh meta-program atau filter persepsinya. Jika Myrna bermetaprogram away from (menghindari penderitaan), global, dan self, maka gambaran yang dihadirkan dalam pikirannya juga seputar penderitaan, global, dan tentang dirinya. Meta-program dapat terdeteksi dari kata-kata, gesture, dan intonasi. 

Itu artinya mendengar bukan hanya dengan telinga, melainkan juga dengan mata!. Apa yang didengar?

– Pola bahasa seseorang untuk mendeteksi ‘film’ dan meta-program. 

– Gerakan kecil seperti nafas, warna kulit, gerakan otot, ukuran bibir, suara, untuk mendeteksi representasi di dalam dan emosi/state tertentu. 

– Gerakan bola mata, untuk memberi konfirmasi ia  benar-benar bicara tentang apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, apa yang ia rasakan dalam dirinya. Yang ia lihat dan dengar itu hasil mengingat atau konstruksi. 

– Fitur cinematic di layar pikirannya : gambar, suara, rasa, bau, kecap dalam pikirannya dan kualitasnya : terang-redup, jauh dekat, bergerak-diam, keras-pelan, naik-turun, kasar-halus, besar-kecil, cepat-lambat dan seterusnya. 

– Frame  di wilayah ‘meta’ yang mengatur cerita ‘film’ di bioskop pikirannya; Di meta-land itu ia berada pada peran sebagai apa, posisi apa, untuk tujuan apa, dalam berrmain di dunianya. 

Kalau paham soal-soal ini, tidak ada lagi jawaban, “Gitu aja baper.”

Jadi ‘wanita ingin dimengerti’ itu tidak sesederhana diam, fokus, tidak menyela, tidak menghakimi, tidak berasumsi.

Hidup semakin berat kah, kawan?***

10 Februari 2020
Prasetya M. Brata