Weekly Journal
Transformatio #14
09 April 2021
(Family Coaching Series)
Kalau sudah bicara soal anak, sebagian besar orang tua akan segera memusatkan energinya untuk berpikir dan memberikan yang terbaik. Biasanya seraya mengingat masa kecil dan mengenang orangtua yang telah berbuat super baik kepada kita, tanpa mengharap balas jasa. Kali ini kita akan mengungkap bagaimana sebenarnya cara terbaik menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan dunianya.
Sejenak saya ingin mengalihkan perhatian pembaca untuk melihat dari sudut pandang Undang-Undang Republik Indonesia No 35 tahun 2015 tentang Perlindungan Anak. Di sana disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Hak kelangsungan hidup adalah hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan baik fisik dan mental, sehingga anak dapat tetap hidup dengan normal. Hak tumbuh dan berkembang adalah hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi adalah hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan fisik maupun mental serta memiliki hak yang sama dalam hukum, pemerintahan dan kehidupan sosial. Untuk memastikan anak mendapatkan hak-haknya, maka diperlukan kesadaran dan kompetensi dari khususnya orang tua dan pihak-pihak terkait pada umumnya.
Hal pertama dan paling utama yang perlu dipahami bagi orang tua adalah memberikan perlakuan yang tepat kepada anak tentang self-esteem (kemuliaan dan keberhargaan diri) dan self-confidence (kepercayaan dan kompetensi diri).
Self-esteem (kemuliaan dan keberhargaan diri) adalah kesadaran dan keyakinan subyektif bahwa setiap manusia berharga, mulia dan layak dicintai tanpa syarat. Hal ini tentu juga berlaku untuk anak. Mereka adalah pribadi-pribadi yang keberadaannya (being) perlu dihargai dan dimuliakan.
Self-confidence (kepercayaan dan kompetensi diri) adalah sebuah perasaan (feeling) dan perilaku percaya diri atas kemampuan melakukan atau mencapai sesuatu (doing) karena pengalaman dan kompetensinya.
Anak sebagai manusia, pribadi dan perilakunya adalah dua hal yang terpisah. Apapun yang dipikirkan, dirasakan, diucapkan dan dilakukan seorang anak, mereka tetaplah seorang manusia yang berharga, mulia dan layak dicintai.
Bagaimana kita dapat membedakannya?
Menghargai Anak Tanpa Syarat
Anak-anak adalah pribadi yang merdeka. Mereka membutuhkan perlindungan hingga mampu mandiri. Tugas orang tua atau manusia dewasa yang lain adalah membantu mereka mendapatkan pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak. Orang dewasa juga perlu memiliki kesadaran dan memberikan kesadaran pada anak, bahwa anak-anak adalah pribadi yang merdeka, mulia, berharga dan layak dicintai tanpa syarat.
Istilah “tanpa syarat” tentu menjadi sesuatu yang menarik. Karena beberapa orang tua masih belum memahami istilah ini dengan tepat. Beberapa di antara yang lain mungkin sudah memahami hal ini dengan baik.
Menghargai anak tanpa syarat adalah mengakui sepenuhnya bahwa mereka adalah ciptaan Tuhan yang setara dengan manusia dewasa lainnya dan berhak atas penghargaan, kemuliaan dan kemerdekaan tanpa syarat. Tidak ada syarat sedikitpun untuk menjadikan mereka berharga, mulia dan merdeka.
Di samping ada pengakuan tanpa syarat atas pribadinya (self-esteem) sebagai manusia, ada pula pengakuan bersyarat atas perilakunya (self-confidence). Bila anak-anak rajin belajar atau melakukan hal-hal yang baik, orang tua dapat memberikan pujian yang baik karena perilakunya. Bila anak-anak karena pengetahuan dan pengalamannya belum mampu melakukan hal-hal yang diharapkan, mereka tetap pribadi yang mulia dan berharga. Mereka hanya perlu diberi pengetahuan dan bimbingan agar mereka berperilaku lebih baik. Setiap anak perlu proses dan waktu untuk memahami nilai-nilai dan norma baik sesuai yang diajarkan oleh orang tua, guru dan masyarakat di sekelilingnya.
Godaan yang acapkali dialami orang tua adalah dengan tidak sabar menyamakan antara pribadi dan perilaku anak. Anak yang sedang malas belajar dengan cepat dilabeli sebagai anak malas atau pemalas. Anak yang sedang belajar mengekspresikan perbedaan pendapatnya dicap sebagai anak yang tidak penurut. Anak yang sedang ingin mencoba sebuah ketrampilan baru, langsung dilarang sambil berkata dengan keras “Awas hati-hati. Adik tidak boleh melakukannya.” Anak yang mendapatkan perlakuan seperti itu, kemudian mengingat dan menyimpulkannya sebagai sesuatu yang benar, karena dilakukan atau diucapkan oleh seseorang yang mereka yakini memiliki otoritas kebenaran. Tanpa disadari, anak mulai menyimpan di pikiran bawah sadarnya berbagai identitas negatif yang tidak produktif dan mempengaruhi pikiran, perasaan, ucapan dan perilaku berikutnya.
Anak yang dilabeli dan akhirnya melabeli dirinya sendiri sebagai pemalas, maka dia berpikir dia pemalas, merasa dirinya pemalas, berkomunikasi dengan gaya pemalas dan berperilaku seperti umumnya pemalas, tanpa sadar sepenuhnya bahwa hal itu salah. Dan ketika orang tua terus melihat hal yang sama dan terus melabeli sebagai pemalas, maka dengan lambat tapi pasti, si anak akan memilki karakter pemalas.
Anak yang dilabeli dan akhirnya melabeli dirinya sebagai anak yang tidak penurut atau pemberontak, lama-lama akan benar-benar menjadi pemberontak.
Anak yang tidak diberi kesempatan melakukan ketrampilan tertentu dan mendapatkan larangan yang keras dengan suara keras, akhirnya menjadi anak penakut mencoba hal-hal baru.
Ketika anak beranjak dewasa, karakter-karakter negatif yang terbangun sejak kecil itu tentu akan terus terbawa dan menjadikannya pribadi yang tidak efektif dan produktif.
Tentu kita tidak ingin anak kita memiliki karakter-karakter negatif yang membelenggu potensi dan prestasinya.
Lalu apa yang perlu dilakukan oleh orangtua?
Berikut 5 tips yang dapat dipakai orangtua agar anak-anak bertumbuh kembang positif dan merasa dihargai tanpa syarat.
- Meyakini bahwa setiap anak memiliki keunggulan atau talenta.
Tuhan menciptakan setiap manusia dengan berbagai kelebihan dan keunggulan yang tersembunyi. Setiap keunggulan tentu tidak muncul begitu saja. Perlu disemaikan, ditumbuhkan dan dikembangkan. Perhatikan dengan detail hal-hal yang disukai anak-anak sejak kecil. Yakini bahwa hal itu adalah bibit-bibit keunggulannya. Fasilitasi dan bantu anak mempelajari hal-hal yang disukai, dengan memberikan media dan guru yang ahli di bidangnya. Kesampingkan obsesi-obsesi orang tua yang ingin disematkan kepada anak, kecuali anak-anak benar menyukainya.
2. Menjadi sahabat bagi anak.
Anak memiliki kebutuhan berkomunikasi untuk melatih dan mengembangkan kemampuan sosialnya. Mereka membutuhkan sahabat yang mampu memahami dan mengikuti perkembangan alam pikirannya. Menjadi sahabat yang baik bagi anak adalah investasi berharga dalam rangka mendampingi anak menemukan identitas terbaik.
3. Mendengarkan.
Anak yang sedang dalam proses tumbuh kembang, ingin didengarkan bagaimana dia belajar memahami hal-hal baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Kadang-kadang mereka membutuhkan cara-cara berpikir, beremosi, berkomunikasi dan berperilaku yang mereka belum tahu bagaimana mengungkapkannya. Mendengarkan dengan baik apa yang ada di dalam video pikiran anak akan sangat membantu mengetahui ruang-ruang kosong yang ada di dalam pikiran dan perasaan anak dan mengisinya dengan nilai-nilai kebaikan serta keyakinan-keyakinan positif baru.
4. Bertanya.
Tidak semua pikiran dan perasaan anak dapat diekspresikan dengan baik kepada orang tua atau orang lain di sekitarnya. Bertanya dengan penuh empati dan penghargaan akan mampu membantu anak mengekspresikan apa yang dia pikirkan dan rasakan. Biasanya anak-anak akan puas dan bersemangat ketika ditanya tentang perkembangan pemikiran-pemikirannya. Kebiasaan bertanya ini juga mampu membantu anak untuk melihat persoalan dari beberapa sudut pandang, berlatih berpikir sebab akibat, berpikir kreatif dan menemukan kebenaran-kebenaran baru.
5. Berbagi dan Bercerita.
Pengalaman atau cerita-cerita positif yang dialami oleh orangtua dapat dibagikan kepada anak-anak dengan bahasa yang mudah dan sederhana. Karena sebagian besar anak suka mendengarkan cerita, momentum ini dapat dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri anak. Beri kesempatan anak untuk mengomentari dan memberikan pendapat, sehingga anak merasa diperlakukan setara dan dihargai.