FILSAFAT META: PERAN META-COACHING ATAS DILEMA EKSISTENSI MANUSIA MODERN

Weekly Journal
Transformatio #12
26 Maret 2021

Erich Fromm berpandangan bahwa manusia modern terjebak dalam akumulasisme (materialisme). Fromm menjelaskan bahwa bukan hanya mengumpulkan (mengakumulasi) yang bersifat material, bahkan yang non-materialpun diakumulasikan.[1] John Naisbitt berpandangan bahwa manusia modern telah terlempar kepada dirinya sendiri dan menghadapi sebuah tantangan eksistensi berupa pertanyaan tentang nilai moral dan pandangannya terkait makna kehidupan yang dijalaninya.[2] Ini artinya manusia modern tengah dihadapkan pada tantangan kepemimpinan diri yang menguji kesadaran dirinya dalam memahami nilai dirinya sebagai manusia.

Sartre dengan etika eksistensialismenya berpandangan bahwa manusia adalah makhluk berkesadaran yang bebas dan bertanggungjawab atas ‘sebagai apa’ dan ‘apa yang dilakukan’.[3] Baginya hanya ada satu jawaban mutlak atas dilema tersebut, “Pilih dan bertanggungjawablah.” Manusia bebas memilih makna bagi dunianya, bebas menjadikan diri sesuai cita-cita yang kita pilih, dengan syarat sepenuhnya bertanggungjawab. Keyakinan yang lemah dan ketidakmurnian melibatkan kita dalam keterasingan (alienasi), terasing dari kebebasan makhluk berkesadaran lalu memandang manusia lain hanya sebagai benda yang dipaksakan keadaan. Keteralihan kesadaran tersebut membuat manusia modern terasing (alienasi) dari watak “Aku” yang seharusnya membuat dirinya mencintai dirinya dan di luar dirinya dengan sepenuh hati.

Merujuk pada pandangan Ansari, terdapat dualitas kesadaran dalam diri manusia yaitu ‘aku personal’ dan ‘aku suprapersonal’.[4] ‘Aku personal’ merupakan kesadaran yang identik dengan raga dan kepribadian yang hanya peduli diri dan beraktualiasi demi kepentingan diri sendiri yang menyusun strategi aktualisasinya berdasarkan persepsi inderawi. ‘Aku suprapersonal’ merupakan diri yang tidak terikat dengan kebutuhan – kebutuhan personal dan tidak berkausalitas dengan keadaan ataupun waktu. Jika pada ‘Aku personal’ kebahagiaan dicapai dengan mengakumulasi kebutuhan-kebutuhan material yang artifisial, pada ‘Aku suprapersonal’ kebahagiaan diwujudkan sebagai keadaan yang natural dan altruistik.

Maka merujuk pada dilema eksistensialis itulah meta-coaching hadir dan memainkan perannya. Berdasarkan definisi yang disampaikan oleh Michael Hall, dapatlah saya artikan meta-coaching sebagai seni komunikasi yang memfasilitasi terwujudnya suatu kesadaran baik personal dan suprapersonal nan spesifik dalam mewujudkan keinginan yang dihasratkan, dengan percakapan yang hanya dan hanya melimpah cinta kasih demi menyibak makna inti di dalam pikiran seseorang, untuk mengenali dan memberdayakan sumber daya dalam dan luar diri seseorang sehingga menghasilkan perubahan yang asali dan berkesinambungan dalam membangun, membebaskan, serta mengaktualkan potensi dirinya sebagai manusia. Definisi yang bukan hanya sekedar rangkaian atensi dengan keelokan diksi, namun juga mengandung betapa luhurnya keilmuan yang boleh jadi diintensikan oleh Sang Modular.

Komunikasi adalah inti dari kepemimpinan diri. Manz dan Neck mendefinisikan kepemimpinan diri (self-leadership) sebagai proses yang berkesinambungan yang dilakukan seseorang dalam mempengaruhi dirinya untuk mengarahkan diri (self-direction) dan memotivasi diri (self-motivation) sehingga dirinya bertindak (to perform) dan berperilaku (to behave) sebagaimana yang dihasratkan (desirable).[5] Dalam perspektif tasawuf, Al Razi menguatkan definisi tersebut dengan aspek kesadaran, bahwa manusia dengan keterampilan memimpin dirinya seyogyanya menjadi makhluk yang paling utama dengan syarat memelihara sesuatu yang tetap menjadikan dirinya sebagai manusia, yaitu pengetahuan tentang kebenaran (cognitive) dan amal yang sempurna (behavior). Maka disinilah peran penting meta-coaching dalam mengkomunikasikan aspek komunikasi dan kesadaran personal dan suprapersonal dalam kepemimpinan diri. Meta-Coaching memfasilitasi seseorang untuk terampil memimpin dirinya dalam mengaktualkan kebebasan diri melalui kesempurnaan kognitif dalam mengetahui kebenaran yang terhasratkan, dan menerjemahkannya dalam perilaku yang sempurna.[6]

Demikianlah meta-coaching merupa menjadi seni keterampilan hidup dan seni keterampilan jiwa. Meta-Coaching memfasilitasi kita dalam menerjemahkan adagium yang mengatakan “siapa yang tak mengenal dirinya takkan menemukan, dan siapa yang tak menemukan takkan menjadi dirinya.”[7]

Oleh:
Arief E. Prasetyo

Meta-Coach | Tasawuf Enthusiast


[1] Erich Fromm, To Have or To Be, 2008. Contohnya adalah ilmu yang ukuran akumulatifnya adalah pangkat atau gelar.

[2] “Manusia Ditentang ke Arah Penghayatan Spiritual Lebih Tinggi”, Kompas, 31 Desember 1979, Dalam Bagir, Haidar. Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau, Bandung: Mizan Pustaka, 2019.

[3] Ini merupakan pembabaran Sartre terhadap ‘keyakinan yang lemah’.

[4] Ali Ansari, Tasawuf Dalam Sorotan Sains Modern, 2003.

[5] Manz dan Neck, Mastering Self-leadership: Empowering yourself for personal excellence, 1999

[6] Sebagaimana pada Neuro-Semantic terdapat sebuah presuposisi bahwa ”Mind and Body is One System.”

[7] Fadiman dan Frager. Hakekat Sufi, 1997.