Executive Deciding

Weekly Journal
Transformatio #5
5 February 2021

A real decision is measured by the fact that you’ve taken action, commit in it and you live in it. You haven’t truly decided unless you live in it.

– Anonymous  –

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita selalu mengambil keputusan, bahkan mungkin ratusan, mulai dari mau pakai baju apa, hari ini masak apa, mau baca buku apa, dan keputusan2 lainnya.

In every day life we always make decision.

Faktanya, beberapa sumber dan penelitian mengatakan decision yang kita ambil dalam sehari bisa sampai ratusan, 400 an bahkan ribuan. Peneliti di suatu universitas memperkirakan bahwa rata-rata orang dewasa bahkan membuat keputusan sekitar 35.000,- Namun, keputusan2 yang kita ambil ini tidak memiliki konsekuensi yang serius sehingga relatif mudah untuk memutuskannya. Akumulasi dari keputusan2 ini bisa menjadi suatu pattern yang kemudian menjadi seolah bersifat otomatis. Saat seperti ini, maka keputusan menjadi tersembunyi di belakang pola atau pattern yang kita miliki ini, seperti “kamu biasanya akan berespon terhadap krisis seperti apa? terhadap perselisihan seperti apa?”. Ketika akumulasi ini telah menjadi pola/pattern tertentu maka dia menjadi suatu habits atau kebiasaan.

“Decision is hiding in our automatic pattern. We are habituating in something” .

Seseorang yang benci belajar dan sekolah, memutuskan untuk tidak sekolah sehari, lalu kemudian menjadi beberapa kali tidak sekolah. Lama-lama keputusan ini menjadi terakumulasi dan akhirnya membuat ia tidak mau sekolah. Saat kita ingin mengajak dia untuk bisa kembali sekolah, maka kita perlu untuk mengajak dia kembali melihat ke saat pertama kali dia mengambil keputusan tidak berangkat ke sekolah. Kita breaking the pattern. Dalam NLP, bisa juga dilakukan dengan timeline.

We can go back to the very first time decision was made to destroy the pattern

Pada saat kita berbicara tentang Executive deciding, kita sebetulnya berbicara tentang suatu hal yang lebih kompleks, lebih dari sekedar keputusan sehari2 yang tidak memiliki konsekuensi yang serius.

Executive Deciding” adalah sesuatu yang relatif tidak mudah untuk dilakukan dan bersifat kompleks. Tidak semua orang dapat dengan mudah untuk melakukan Executive Deciding karena Executive Deciding tidak terbatas pada kita putuskan lalu semua selesai. Executive deciding covering all decision and it’s consequences, you need to live in your decision , implemented it. Dengan demikian, maka kita perlu melakukan apa2 yang telah kita putuskan, mempertanggung jawabkannya dan menjalani konsekuensi dari keputusan tersebut. Dan menariknya, ternyata banyak dari kita yang takut menghadapi konsekuensi dari keputusan yang telah kita ambil. Dan ketakutan ini merupakan salah satu bentuk the fear of making decision. Ketakutan ini besar atau kecil akan mempengaruhi bisa atau sulitnya seseorang mengambil keputusan.

Jadi, sebetulnya letak kompleksitas dari mengambil keputusan adalah bahwa kita harus hidup dan menjalani keputusan tersebut. Decision tidak terbatas pada pemikiran semata dan mengatakan bahwa saya sudah memutuskan A atau B, tapi sekali lagi, ini adalah tentang bagaimana kita berkomitmen untuk menjalankannya. Decision requires Commitment effort yang sangat besar.

The complexity of decision is you live the decision. How do you live the decision. The decision is live and it’s the scary of decision. 

Di awal tahun 2021 ini, berapa banyak orang yang tidak mau membuat resolusi awal tahun karena merasa takut tidak bisa melakukannya, mempertanyakan dirinya apakah bisa melakukannya atau tidak. The fear of decision allow people to refuse to make new year solution. Pada saat resolusi awal tahun yang dibuat ternyata tidak dilakukan, maka kita akhirnya bisa jadi mempertanyakan tentang kemampuan kita dan tentang tanggungjawab kita akan keputusan yang sudah kita tuangkan dalam resolusi tersebut. Karena akhirnya, kita perlu untuk mempertanggungjawabkan dan mengevaluasinya pada diri kita sendiri, apakah keputusan kita akan resolusi tersebut sudah dijalankan? apakah kita memutuskan untuk komit melakukannya? seberapa accountable kita terhadap resolusi tersebut? dan apa konsekuensinya jika dilakukan atau tidak dilakukan? .

The fear of decision allow people to refuse to make decision. The fear is about accountable to, responsible to and live in your decision.

Jika kita zoom in ke dalam proses pengambilan keputusan atau executive deciding, sebetulnya di dalamnya terdapat planing, risk management dan hal2 strategis lainnya. Kita banyak sekali menggunakan frontal lobe untuk berfikir termasuk melihat future consequences dari keputusan kita. Banyak sekali cognitive effort yang terjadi pada saat kita melakukan pengambilan keputusan.

3 Executive Deciding Stages

Pada saat melakukan Executive Deciding, terdapat 3 primary stages yang dilakukan, yaitu:

  1. Preparing. Pada saat melakukan persiapan atau preparing, ada dua tahapan proses yang perlu kita lakukan yaitu:
    • Framing . Sebelum mengambil keputusan, kita perlu memperjelas framing kita terlebih dahulu. Framing ini adalah tentang intention. Sebagai contoh: saat kita akan mengambil keputusan akan menikah dan membina rumah tangga, kita perlu melihat framing kita tentang menikah dan intensi untuk menikah. Kenapa penting untuk menikah? apa intensi yang kita miliki dengan menikah? Untuk apa kita menikah? apakah untuk status, untuk dipamerkan, untuk kebahagiaan atau untuk apa? .Jika kita tidak punya framing maka kita akan mudah untuk dimanipulasi, dipengaruhi atau diperdaya orang lain. Oleh karenanya, kita perlu menemukenali terlebih dahulu apa yang menjadi intention kita.
    • Information Gathering. Jika kita sudah tau apa framing dan intensi kita, selanjutnya adalah informasi apa yang dibutuhan dan berapa banyak informasi yang dibutuhkan? contoh: masih tentang menikah. Kita perlu mencari tahu, informasi apa saja yang kita butuhkan terkait pernikahan, berapa banyak buku yang perlu kita pelajari agar bisa lebih siap untuk menikah dan membahagiakan pasangan? siapa yang bisa kita tanyakan? Apa kursus yang bisa mengajarkan saya ini? Kalau kita benar2 melakukan ini, maka kita tidak akan pernah mengatakan “what am I thingking? “. Untuk bisa melakukan ini, kita dapat menerapkan well form outcome question, yang akan dijabarkan pada bagian akhir tulisan ini. Anyway, dalam proses mengumpulkan informasi, kita bisa jadi akan overwhelme karena kebanyak info. Pada saat ini terjadi, maka kita perlu kembali set up the frame. Kita dapat mengajukan pertanyaan kepada diri kita, misal: untuk apa informasi ini?  Apa artinya informasi ini untuk saya?  jadi, what framing you set is very important!.  Dengan begini, kita bisa melihat mana informasi yang relevan dengan kita dan mana yang tidak relevan
  2. Initiating. Pada saat semua informasi telah kita dapatkan, maka kita perlu melakukan identifikasi, testing secara konsisten serta melakukan seperating knowledge antara primary knowledge dengan meta-knowledge. Kita perlu mengidentifikasi kembali tentang pemahaman yang kita dapat “ok..ini adalah values saya, ini diagnostik yang saya dapatkan” . lalu selanjutnya adalah memilah mana yang primary knowledge dan meta knowledge. Sebagai contoh: Resilience – primary knowledgenya adalah apa yang perlu dilakukan agar bounce back, berapa banyak step yang perlu dilakukan. Lalu untuk meta knowledgenya adalah: kita step back sebentar dan kemudian bertanya, dimana saya sekarang? di tahap mana saya? dan kemudian kita melakukan meta-knowledge untuk setiap tahapan dalam resilience. Berikutnya adalah kita perlu melakukan testing, melakukan checking terhadap cognitive distortion yang bisa saja terjadi. Saat testing, kita perlu bersikap skeptis, seperti misalnya: bagaimana kalau saya salah? Bagaimana kalau ini benar? Ini fungsinya untuk confirming what to good to be true. The quality of information perlu di test karena ini mempengaruhi dari quality of our decision. atau dengan kata lain ” Quality of decision dipengaruhi oleh quality of information“. contoh: saat kita ke showroom mobil, kita ditekan oleh SPG dengan mengatakan promo hanya saat ini dan ini limited edition, kalau tidak diambil sekarang maka kita akan sulit mendapatkannya. Untuk mengambil keputusan, kita perlu step back dulu, lalu kita testing dan checking, benarkah kalau tidak dibeli sekarang maka kita tidak akan bisa mendapatkan promo lagi? bagaimana kalau ternyata bulan besok akan ada penawaran-penawaran yang lebih menarik? bagaimana jika saya tunda dulu sehingga saya bisa mempelajari kelebihan mobil ini terlebih dahulu? bagaimana kalau saya beli sekarang dan ternyata bukan ini yang saya butuhkan? pada skala 1-10, sebutuh apakah saya akan mobil ini?
  3. Concluding. Pada akhirnya, kita akan mengambil keputusan (deciding) dan menjalankannya (implementing). Saat kita memutuskan, kita membuat strategi dan menyimpulkan dari berbagai informasi yang kita miliki. Tahap ini merupakan action stage/implementation yang kemudian perlu untuk dievaluasi (Evaluating/feedback). Adapun tujuan Feedback adalah untuk melihat atau men-tracking sudah seperti apa kita melakukannya, dan apakah perlu kita refining it as we go?

Dengan melakukan ketiga tahap diatas, kita sudah melakukan executive deciding. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa executive deciding lebih dari sekedar memutuskan, namun kita hidup dalam keputusan tersebut dan menjalankannya serta mengevaluasi keputusan tersebut.