15 January 2020
BAPER, istilah yang sudah tidak asing lagi di saat ini, menggantikan istilah di era sebelumnya “sensi” (=sensitif), atau “tersungging” (=tersinggung).
Saya mengamati (subjective experience, dan termasuk dari pengalaman sendiri) bagaimana istilah baper ini digunakan dan apa yang dirasa/pikirkan oleh penyampai kata baper dan apa reaksi orang yang dikatai baper.
Mengapa orang menyampaikan kata “Kamu baper…” atau “Jangan baperrrr…” dan bagi yang ekspresif biasanya disertai dengan mimik wajah agak mencibir atau mata melirik serong dan pesan lengkap yang tak terkatakan kurang lebih “Kamu tidak seharusnya merespon demikian (=sedih, marah, kecewa, tersinggung), kamu berlebihan menanggapi kondisi ini yang masih di ambang KEWAJARAN.”
Ambang KEWAJARANnya siapa?
Samakah ambang wajar antarorang?
Tersampaikan dengan jelaskah ambang wajar seseorang?
Nah, di sinilah saya mendapatkan “Aha!” mengapa ilmu INTERAKSI dengan sesama manusia adalah ilmu yang tidak pernah ada wisuda kelulusannya.
Beberapa WAG (WA Group) yang saya ikuti, walaupun saya tidak aktif, sesekali membaca, banyak kali mendelete ratusan chat yang tak sempat dibaca.. beberapa reaksi orang yang baper adalah meninggalkan WAG “left group” dan kemudian ada anggota yang tertinggal mulai membahas orang yang dianggap “baperan” tadi.
Ada contoh sang ayah meminta/memerintahkan sesuatu dan ditanggapi si anak dengan kesal, lalu komentar ayah “Ah.. baper… jangan baperan lah..” Pendapat si anak “Ngga usah begitu kaleee nyuruhnya” dan kata si ayah “lakukan saja lah, kok cuma begitu saja nggak suka”… Situasi menjadi kurang nyaman.
Menurut saya, kita perlu berhati-hati dalam menyimpulkan orang lain itu baper, atau kita juga perlu belajar untuk baper pada tempatnya.
Memang tidak mudah alias perlu mikir, inilah sedikit hasil berpikir saya dalam membuat tips sederhananya.
- Cek kondisi dengan peraturan yang ada, misalnya ada mobil parkir di tempat yang dilarang parkir, lalu ditegur dan ditindak oleh Pak Polisi, maka tidaklah tepat jika pengendara mobil berkomentar “Haallahh, Pak Polisi baper nih.. gini aja saya ditegur. Misal adanya UU tentang lambang negara wajib dihormati, misalnya dengan ada yang menggunakan lambang negara dengan tidak hormat lalu ditindak, respon terdakwa “Negara dikit-dikit baper.” Polisi dan negara tidak sedang baper, mereka menegakkan aturan.
- Ada etiket dan norma dasar yang jelas, atau sebuah kesepakatan bersama. Misalnya jika seseorang melanggar norma kesusilaan atau membuang sampah sembarangan, maka jika ada yang mengingatkan, menegur, maka sudah selayaknya diterima sebagai feedback perbaikan bukan malah tersinggung dan balik marah.
- Jika ada realita yang tidak sesuai kenyataan, dan muncullah emosi sehingga tertangkap sebagai “baper”, maka pastikan tidak berlebihan reaksinya hingga merugikan orang lain.
Selain point 1 & 2, cara seseorang menyimpulkan kebaperan orang lain inilah yang perlu dicermati, karena semakin kita tidak mengenali maka semakin kita buta terhadap ambang kewajaran atau batas baper seseorang dan tentu saja jika terjadi situasi tidak nyaman akan semakin lama dipulihkannya.
Tentang BAPER… sebaiknya kita aktifkan rasionalitas sebelum CEPAT MERASA baper ataupun CEPAT MENGATAI baper.
Penulis,
Giokni
WTC | Writer-Trainer-Coach
WA 0811881610
giokniwati@yahoo.com
https://giokni.blogspot.com